Depok, sebuah kota yang kini begitu padat dan dinamis, menjembatani hiruk-pikuk Jakarta dengan ketenangan Jawa Barat. Keberadaannya sebagai bagian tak terpisahkan dari Provinsi Jawa Barat, meskipun berbatasan langsung dengan ibu kota, kerap memunculkan pertanyaan menarik: dari mana sebenarnya nama “Depok” berasal? Adakah kepanjangan Depok? Apakah ia sekadar singkatan, ataukah ada narasi sejarah yang lebih dalam dan kuno yang melatarinya?

Penelusuran mengenai kepanjangan Depok membawa kita pada sebuah perjalanan waktu, menyingkap lapisan-lapisan sejarah yang membentuk identitas kota ini hingga hari ini. Memahami akar namanya tidak hanya menambah wawasan geografis, tetapi juga membuka jendela ke masa lalu yang penuh intrik dan transformasi. Artikel ini akan mengulas tuntas berbagai teori dan fakta sejarah di balik nama Depok, mengupas peran penting tokoh-tokohnya, serta menyoroti perkembangan kota ini dari masa ke masa.
Jejak Nama Depok: Singkatan atau Asli?
Sejarah penamaan Depok seringkali menimbulkan pertanyaan: apakah ia sebuah singkatan dari bahasa lain, atau justru memiliki akar kata yang lebih tua? Dua teori utama akan kita bahas untuk memahami asal-usulnya. Perdebatan ini telah berlangsung lama dan melibatkan berbagai pandangan dari sejarawan serta ahli bahasa.
Untuk mengupas tuntas misteri ini, kita perlu menelusuri jejak-jejak masa lalu, baik yang terekam dalam dokumen sejarah maupun melalui analisis linguistik kuno. Kedua teori ini menawarkan perspektif yang berbeda namun sama-sama menarik dalam menjelaskan bagaimana nama “Depok” melekat pada wilayah ini.
Baca Juga: Sejarah dan Daya Tarik Kota Depok Sebagai Tempat Tinggal
1. Teori Akronim Belanda dan Hubungannya dengan VOC
Salah satu teori yang paling populer dan kerap disebutkan adalah bahwa nama “Depok” merupakan akronim dari frasa berbahasa Belanda: “De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen”. Frasa ini, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “Organisasi Kristen Protestan Pertama,” diduga kuat merujuk pada komunitas keagamaan yang didirikan di wilayah tersebut. Koneksi ini tidak terlepas dari peran Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada abad ke-17.
Pada masa itu, Cornelis Chastelein, seorang saudagar dan pejabat VOC yang cukup berpengaruh, membeli sebidang tanah luas di area yang kini dikenal sebagai Depok. Ia mengembangkan tanah tersebut dan mendirikan sebuah komunitas bagi para budaknya yang telah dimerdekakan, banyak di antaranya kemudian menganut agama Kristen Protestan berkat ajaran Chastelein. Oleh karena itu, muncul dugaan bahwa nama Depok adalah representasi dari komunitas religius yang ia bangun.
Namun, teori ini tidak serta merta diterima tanpa perdebatan. Beberapa kalangan sejarawan mengemukakan bahwa anggapan “Depok” sebagai singkatan terkesan lemah karena nama “Depok” sendiri cukup lazim ditemukan di beberapa daerah lain di Jawa Barat, seperti di Kabupaten Bandung, Garut, atau Sumedang. Keberadaan nama serupa di lokasi berbeda ini mengindikasikan kemungkinan bahwa “Depok” bukanlah sebuah akronim yang diciptakan secara spesifik, melainkan mungkin memiliki asal-usul yang lebih umum dan telah ada jauh sebelumnya. Adanya nama yang sama di beberapa lokasi geografis lain memang patut dijadikan pertimbangan, menyiratkan bahwa mungkin saja ada kesamaan akar linguistik atau budaya yang lebih luas daripada sekadar singkatan historis.
2. Teori Asal Kata Sunda Kuna: Makna “Padepokan”
Teori lain yang tak kalah kuat dan banyak didukung oleh para ahli bahasa dan sejarah lokal adalah bahwa “Depok” berasal dari bahasa Sunda Kuna. Dalam konteks linguistik Sunda Kuna, atau buhun, kata “depok” memiliki arti “perkampungan” atau “pertapaan”. Makna ini memberikan perspektif yang berbeda, mengisyaratkan bahwa nama Depok mungkin sudah digunakan sejak zaman yang jauh lebih kuno, bahkan sebelum kedatangan bangsa Eropa di Nusantara.
Jika teori ini benar, maka penggunaan nama Depok bisa jadi sudah ada sejak abad ke-15, periode ketika wilayah Bogor dan sekitarnya (termasuk Depok saat ini) menjadi pusat dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang legendaris. Pada masa itu, tidaklah mengherankan jika sebuah wilayah dinamakan berdasarkan karakteristik geografis atau fungsi sosialnya, seperti tempat berkumpulnya masyarakat atau lokasi untuk melakukan pertapaan spiritual. Kehadiran nama “Depok” di beberapa wilayah lain di Jawa Barat juga mendukung teori ini, menunjukkan bahwa istilah tersebut mungkin merupakan bagian dari kosa kata umum dalam bahasa Sunda Kuna yang mendeskripsikan suatu jenis pemukiman atau tempat khusus.
Pendapat ini menawarkan pemahaman yang lebih dalam tentang warisan budaya dan linguistik yang mungkin telah mengakar di tanah Depok selama berabad-abad. Apabila Depok memang berasal dari “padepokan,” hal ini akan menegaskan identitasnya sebagai wilayah yang sejak dulu kala menjadi tempat bermukim atau pusat kegiatan spiritual bagi masyarakat Sunda. Meskipun perdebatan tentang kepanjangan Depok mungkin tidak akan pernah menemukan titik akhir yang tunggal, eksplorasi kedua teori ini memberikan gambaran yang kaya tentang identitas nama sebuah kota yang begitu melekat.
Cornelis Chastelein: Tokoh Kunci di Balik Sejarah Depok
Nama Depok tak bisa lepas dari sosok Cornelis Chastelein, seorang saudagar Belanda yang memainkan peran sentral dalam pengembangan wilayah ini. Kisah Cornelis Chastelein dan warisannya adalah salah satu babak penting dalam sejarah Depok yang tidak bisa dilepaskan dari narasi tentang kepanjangan Depok, terutama jika kita merujuk pada teori akronim Belanda. Keberadaan dan kiprahnya di wilayah ini telah membentuk fondasi sosial, ekonomi, dan bahkan keagamaan yang masih terasa dampaknya hingga kini. Memahami siapa Cornelis Chastelein dan apa yang dilakukannya adalah kunci untuk mengungkap sebagian besar misteri di balik identitas Depok.
1. Peran dan Kiprah Cornelis Chastelein di Depok
Cornelis Chastelein adalah seorang tokoh yang memiliki jejak karir gemilang di VOC. Lahir pada tahun 1658, ia memulai perjalanannya di kongsi dagang tersebut pada usia sekitar 20-an tahun, dan mengabdi selama dua dekade. Dari posisi pengawas gudang, ia berhasil meniti karir hingga menjadi saudagar utama dan anggota Dewan Kota Batavia, sebuah pencapaian yang menandakan keahlian dan pengaruhnya di era kolonial.
Selama bertugas, Cornelis Chastelein dikenal sebagai individu yang cerdas dalam mengelola finansial. Dengan gaji bulanan yang cukup besar pada masanya, yaitu sekitar 200 hingga 350 gulden, ia tidak menghamburkan kekayaannya. Sebaliknya, ia mengalihkan sebagian besar gajinya untuk investasi jangka panjang, yaitu dengan membeli lahan di sekitar Batavia. Tanah pertamanya ia beli pada tahun 1693 di kawasan Weltevreden (sekarang Gambir) dan difungsikan untuk menanam tebu.
Dua tahun setelahnya, Cornelis memutuskan untuk pensiun dari VOC. Namun, masa pensiunnya jauh dari kata pasif. Ia membeli lagi tanah di Serengseng (sekarang Lenteng Agung) dan di sinilah ia memilih untuk menghabiskan sisa hidupnya sebagai tuan tanah. Ia membangun sebuah rumah besar dan banyak membawa orang bersamanya, tidak hanya keluarganya tetapi juga sekitar 150 budak dari berbagai wilayah di luar Jawa. Tindakan ini menandai dimulainya babak baru dalam hidupnya dan juga sejarah wilayah Depok.
Pembelian wilayah Depok sendiri dilakukan oleh Cornelis Chastelein pada akhir abad ke-17. Wilayah yang ia akuisisi tersebut berada di antara Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan, dengan luas mencapai 12,44 kilometer persegi. Lahan ini dibeli dari Lucas van de Meur, residen Cirebon, seharga 300 rijksdaalders. Penguasaan lahan seluas ini oleh seorang individu menunjukkan skala ambisi dan pengaruhnya di masa itu.
2. Warisan Cornelis: Komunitas Kristen dan Budak yang Dimuliakan
Salah satu aspek paling unik dari Cornelis Chastelein adalah perlakuannya terhadap budak-budaknya. Berbeda dengan banyak pemilik budak di masanya, Chastelein dikenal sangat menghormati dan menyayangi mereka. Sebagai seorang Kristen yang taat, ia memiliki pemahaman tentang hak asasi manusia, sehingga ia memutuskan untuk membebaskan semua budaknya. Ini adalah langkah yang revolusioner pada zamannya.
Para bekas budak yang telah dimerdekakan ini kemudian menjadi anak buahnya, ditugaskan untuk mengelola rumah besar di Serengseng serta perkebunan-perkebunan baru di kawasan Mampang dan Depok. Cornelis tidak hanya membebaskan mereka secara fisik, tetapi juga secara spiritual. Ia secara aktif menyebarkan ajaran Kristen di antara budak-budaknya. Tercatat, hingga tahun 1713, sekitar 120 dari 200 budaknya berhasil dikristenkan.
Komunitas yang terbentuk dari para bekas budak ini kemudian dikelompokkan menjadi 12 marga, yang hingga kini masih dikenal sebagai “Marga Depok”. Marga-marga tersebut antara lain Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, dan Zadokh. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal masyarakat asli Depok dan penerus warisan Cornelis Chastelein. Marga-marga ini bukan sekadar penanda keturunan, tetapi juga simbol dari sebuah komunitas yang didirikan atas dasar kebebasan dan keyakinan. Amanah Chastelein agar tanahnya juga berfungsi sebagai tempat penyebaran agama Kristen di Batavia (dan kemudian Depok) memperkuat argumen tentang kemungkinan kepanjangan Depok dari frasa “De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen”.
3. Cikal Bakal Perkebunan dan Ekonomi Awal Depok
Di bawah kepemimpinan Cornelis Chastelein, wilayah Depok bertransformasi menjadi pusat perkebunan yang produktif. Ia mengembangkan lahan tersebut untuk menanam berbagai komoditas yang menjanjikan keuntungan besar, seperti kakao, jeruk, sitrun, nangka, belimbing, tebu, lada, pala, dan kopi. Keberhasilan perkebunan ini membuat Cornelis Chastelein menjadi salah satu orang terkaya di Batavia.
Sistem pengelolaan yang ia terapkan, di mana ia menjalin hubungan dengan para budak seperti bapak dan anak, menciptakan iklim kerja yang unik. Cornelis bertugas sebagai pelindung dan memenuhi kebutuhan para budak, sementara para budak membalasnya dengan pengabdian dalam mengelola perkebunan. Pola ini tidak hanya berhasil secara ekonomi, tetapi juga menciptakan ikatan sosial yang kuat di antara komunitasnya.
Sebelum wafat pada 28 Juni 1714, Cornelis Chastelein telah menyiapkan wasiat pada 13 Maret 1714. Dalam wasiatnya, ia menginginkan agar seluruh hartanya tidak hanya dibagikan kepada keluarganya, tetapi juga secara gratis kepada para bekas budak yang telah ia merdekakan. Tujuannya adalah agar mereka dapat hidup mandiri dan sejahtera. Amanah ini, bersama dengan keinginan agar tanah tersebut menjadi tempat penyebaran agama Kristen, membentuk komunitas yang kemudian secara perlahan menjadikan tanah tempat mereka tinggal dikenal sebagai Depok, yang kemudian diyakini sebagai singkatan dari komunitas tersebut oleh beberapa sejarawan. Seiring waktu, Depok tetap menjadi nama wilayah di era modern sampai sekarang, dengan populasi yang kini mencapai 2 juta jiwa.
Perkembangan Depok: Dari Wilayah Swasta Hingga Kota Otonom
Setelah era Cornelis Chastelein, Depok terus bertransformasi. Wilayah ini melewati berbagai fase hingga menjadi kota mandiri seperti sekarang. Perjalanan panjang Depok dari sebuah wilayah pribadi menjadi kota metropolitan modern merupakan kisah yang menarik, menggambarkan dinamika sosial, politik, dan geografis yang terjadi di Indonesia. Perkembangan ini juga turut memperkaya narasi tentang kepanjangan Depok itu sendiri, memberikan konteks yang lebih luas tentang bagaimana sebuah nama dan wilayah dapat berevolusi seiring waktu.
1. Depok di Mata Akademisi: Analisis dan Pandangan Ilmiah
Perdebatan mengenai asal-usul nama Depok juga menjadi subjek penelitian serius di kalangan akademisi. Salah satu rujukan penting adalah makalah berjudul “Hubungan Sejarah Jawa Barat dengan Sejarah Depok dan Masuknya Islam ke Depok” oleh Mumuh Muhsin Z, yang diunggah di laman resmi Universitas Padjadjaran. Karya ilmiah ini menguraikan dua kemungkinan asal-usul nama Depok yang telah kita bahas sebelumnya: teori akronim Belanda dan teori asal kata Sunda Kuna.
Para akademisi ini, melalui penelitian mendalam dan penelusuran sumber primer, berusaha memberikan perspektif yang lebih objektif dan berdasarkan bukti. Analisis toponomis yang dilakukan menunjukkan bahwa pemahaman “Depok” sebagai “perkampungan” atau “pertapaan” dalam bahasa Sunda Kuna adalah hipotesis yang kuat, mengingat konteks sejarah dan geografis wilayah tersebut sebagai bagian dari Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda Pajajaran. Pendekatan ilmiah semacam ini sangat krusial dalam memahami kompleksitas sejarah sebuah nama tempat, melampaui sekadar cerita rakyat atau asumsi populer. Ini menunjukkan bahwa asal-usul kepanjangan Depok adalah materi yang terus diteliti dan didiskusikan dalam ranah akademik.
2. Metamorfosis Depok Menjadi Kota Administratif
Transformasi penting dalam sejarah modern Depok terjadi pada tahun 1980, ketika wilayah ini secara resmi ditetapkan sebagai kota administratif. Keputusan ini didasarkan pada Surat Menteri Dalam Negeri RI No.135/3127/PUOD, yang dikeluarkan pada tanggal 2 Agustus 1980. Langkah ini merupakan awal dari perubahan status Depok dari sekadar bagian dari Kabupaten Bogor menjadi entitas pemerintahan yang lebih mandiri.
Peresmian Depok sebagai kota administratif kemudian dilaksanakan pada 18 Maret 1982. Pada saat itu, Kota Depok terdiri dari tiga kecamatan awal, yaitu Sukmajaya, Beji, dan Pancoran Mas, yang membawahi total 17 desa. Ketiga kecamatan ini menjadi fondasi awal struktur pemerintahan Depok modern. Sejak saat itu, Depok terus mengalami perkembangan pesat dalam hal populasi, infrastruktur, dan aktivitas ekonomi. Perubahan status ini menunjukkan bagaimana sebuah wilayah dapat berevolusi dari sekadar nama menjadi sebuah unit administratif yang kompleks, dengan segala implikasi pembangunan dan sosialnya.
3. Depok Kini: Pusat Pendidikan dan Kawasan Metropolitan
Seiring berjalannya waktu, Depok tidak hanya berkembang menjadi kota administratif, tetapi akhirnya ditetapkan sebagai kota otonom. Hal ini menjadikannya bagian penting dari kawasan metropolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Perkembangan ini membawa konsekuensi besar bagi Depok, menjadikannya salah satu pusat pertumbuhan ekonomi dan sosial di Jawa Barat.
Salah satu identitas paling menonjol dari Depok saat ini adalah perannya sebagai pusat pendidikan. Kota ini menjadi lokasi bagi salah satu perguruan tinggi paling prestisius di Asia Tenggara, yaitu Universitas Indonesia. Keberadaan institusi pendidikan kelas dunia ini menarik ribuan mahasiswa dan akademisi, yang turut berkontribusi pada dinamika demografi dan ekonomi kota. Selain itu, Depok juga menjadi rumah bagi berbagai fasilitas umum, pusat perbelanjaan, dan infrastruktur transportasi yang terus berkembang untuk mendukung pertumbuhan penduduk dan aktivitas sehari-hari.
Sebagai kota metropolitan, Depok menghadapi tantangan dan peluang yang unik. Pertumbuhan penduduk yang pesat, kebutuhan akan infrastruktur yang memadai, serta pengelolaan lingkungan menjadi agenda utama. Namun, di balik semua modernitas ini, Depok tetap mempertahankan jejak sejarahnya. Wilayah Depok Lama, misalnya, masih memancarkan nuansa sejarah dengan bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda yang berdiri kokoh, menjadi saksi bisu dari masa lampau dan perjalanan panjang kota ini. Ini adalah bukti bahwa terlepas dari perdebatan mengenai kepanjangan Depok, identitas historisnya tetap terjaga di tengah laju modernisasi.
Fakta-Fakta Menarik Seputar Depok
Depok bukan hanya tentang sejarah nama atau Cornelis Chastelein; ada banyak sisi unik yang membuat kota ini menarik untuk dikenang dan dipelajari. Menggali fakta-fakta ini memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang identitas kota yang seringkali hanya dikenal sebagai tetangga Jakarta ini.
- Nama “Depok” di Berbagai Daerah: Seperti yang telah disinggung sebelumnya, nama “Depok” tidak hanya ditemukan di kota ini saja, melainkan juga di beberapa daerah lain di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Fenomena ini memperkuat argumen bahwa nama tersebut mungkin memiliki akar linguistik atau budaya yang lebih luas daripada sekadar singkatan. Keberadaan nama yang sama ini membuka ruang untuk spekulasi mengenai kemungkinan migrasi penduduk atau penggunaan istilah yang sama untuk menggambarkan jenis pemukiman tertentu di masa lalu.
- Lokasi Universitas Indonesia: Depok bangga menjadi rumah bagi salah satu perguruan tinggi paling prestisius di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara, yaitu Universitas Indonesia (UI). Kampus megah UI dengan danau-danu buatan dan area hijau yang luas tidak hanya menjadi ikon pendidikan, tetapi juga memberikan identitas tersendiri bagi kota Depok sebagai kota pelajar. Keberadaan UI juga secara signifikan mempengaruhi demografi, ekonomi, dan dinamika sosial kota, menjadikannya pusat intelektual yang vital.
- Pelestarian Depok Lama: Di tengah pesatnya pembangunan dan modernisasi, Depok berhasil mempertahankan bagian dari warisan sejarahnya melalui kawasan Depok Lama. Di area ini, Anda masih dapat menemukan bangunan-bangunan tua dengan arsitektur khas Belanda yang berdiri kokoh. Bangunan-bangunan ini, termasuk gereja dan sekolah Kristen kuno, adalah peninggalan langsung dari era Cornelis Chastelein dan komunitas Kristen yang ia bentuk. Keberadaan Depok Lama adalah pengingat visual akan akar sejarah kota ini dan berfungsi sebagai museum hidup yang menceritakan perjalanan panjang Depok.
- Bagian dari Sejarah Kerajaan Kuno: Meskipun sering dikaitkan dengan era kolonial Belanda, wilayah Depok sebenarnya telah menjadi saksi bisu peradaban yang lebih tua. Secara geografis dan historis, Depok merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda Pajajaran pada masa lampau. Hal ini berarti bahwa jauh sebelum Chastelein tiba, tanah ini sudah menjadi bagian dari narasi sejarah Nusantara yang kaya, menambah lapisan kompleksitas pada asal-usul kepanjangan Depok.
- Dinamika Jabodetabek: Depok kini menjadi komponen vital dalam konurbasi Jabodetabek. Perannya sebagai kota penyangga ibu kota membawa konsekuensi berupa pertumbuhan penduduk yang masif, perkembangan infrastruktur transportasi yang agresif, dan integrasi ekonomi yang kuat dengan kota-kota sekitarnya. Dinamika ini menjadikan Depok sebagai laboratorium perkotaan yang menarik untuk studi tentang urbanisasi dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Pada akhirnya, terlepas dari perdebatan tentang apakah kepanjangan Depok merupakan singkatan dari “De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen” atau berasal dari “padepokan” dalam bahasa Sunda Kuna, satu hal yang pasti adalah kota ini memiliki sejarah panjang, unik, dan beragam. Dari masa Kerajaan Sunda Pajajaran yang legendaris, pengaruh signifikan Cornelis Chastelein, hingga perjalanannya menjadi kota administratif dan otonom, Depok telah menjadi saksi berbagai peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Memahami asal-usulnya membantu kita mengapresiasi lebih jauh identitas sebuah kota yang terus tumbuh dan berevolusi.